Kritik Struktur dan Ambiguitas Terhadap Puisi Luka Karya Sutardji Calzoem Bachri
Oleh :
Maria Lintang Vanesa
Abstrak
kritik ini bertujuan mengkaji struktur dan makna dari puisi Luka karya Sutardji Calzoem Bachri. Berbagai kekurangan yang terdapat pada struktur dan ambiguitas yang terdapat pada makna akan diulas secara transparan. Teori yang digunakan antara lain (1) strukturalisme, dan (2) teori kesadaran intensionalitas.
Berkaitan dengan fokus pertama yang dibahas, hasil penelitian ini menunjukan bahwa, dalam menulis karya sastra terlebih puisi, penulis haruslah melihat strukturnya. Boleh menulis tidak sesuai dengan struktur, namun diksinya harus jelas agar dapat memudahkan pembaca dalam menentukan makna puisi yang ditulis. Dan terbukti bahwa tidak semua puisi dapat dibacakan. Contohnya adalah puisi Luka karya Sutardji. Puisi ini tidak bisa dituliskan dengan “ha ha” saja. Puisi ini hanya dapat dinikmati karena adanya bentuk visualisasi berupa daging dan darah.
Kata kunci : kritik, struktur, ambiguitas, puisi, luka
Kritik (KBBI) : tanggapan baik buruk terhadap suatu karya
Struktur (KBBI): bentuk, format
Ambiguitas (KBBI): sifat atau hal yang bermakna dua
Puisi : salah satu jenis karya sastra
Luka (KBBI) : cedera
Abstract
This criticism aims to study the structure and meaning of poetry Luka by Sutardji Calzoem Bachri. Various shortcomings inherent in the structure and ambiguities contained in the meaning will be reviewed in a transparent manner. The theory used include (1) structuralism, and (2) the theory of intentionality of consciousness.
In connection with the first focus of the discussion, the results of this study show that, in writing the literature especially poetry, the author must see its structure. May write is not in accordance with the structure, but phrase must be clear in order to facilitate the reader in determining the meaning of a poem. And proved that not all poems can be read out. An example is the poem Luka by Sutardji. Poetry can not be written with a "ha ha" only. Poetry can only be enjoyed for their visualization in the form of flesh and blood.
Key words: criticism, structure, ambiguity, poetry, wound
Criticism (KBBI): good bad response to a work
Structure (KBBI): form, format
Ambiguity (KBBI): properties that are meaningful or two
Poetry: one of a kind works of literature
Luka (KBBI): injury
PENDAHULUAN
Struktur dalam sebuah karya sastra sangat mampu membantu pembaca dalam menentukan makna dari karya sastra yang bersangkutan secara visual, terlebih pada puisi. Namun, akan beda kisahnya apabila sebuah puisi mengandung makna ambiguitas yang sangat tinggi.
Sebuah kritik ini didasarkan dengan menggunakan teori kesadaran intensionalitas milik Husserl yang menyiratkan bahwa keberadaan dan makna selalu saling terikat. Tidak ada objek tanpa subjek, dan tidak ada subyek tanpa objek. Dengan menggunakan teori ini maka akan meluruskan makna yang dianggap ambigu oleh para pembaca.
KRITIK
Pertama, kita harus mengenal terlebih dahulu siapakah Sutardji Calzoem Bachri. Sebab apabila kita ingin melakukan kritik terhadap seseorang. Maka kita harus mengetahui latar belakang orang atau objek yang akan kita kritik. Sutardji Calzoum Bachri (lahir di Rengat, Indragiri Hulu, 24 Juni 1941; umur 74 tahun) adalah pujangga Indonesia terkemuka. Setelah lulus SMASutardji Calzoum Bachri melanjutkan studinya ke Fakultas Sosial Politik Jurusan Administrasi Negara, Universitas Padjadjaran, Bandung. Pada mulanya Sutardji Calzoum Bachri mulai menulis dalam surat kabar dan mingguan di Bandung, kemudian sajak-sajaknyai dimuat dalam majalah Horison dan Budaya Jaya serta ruang kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana. Dari sajak-sajaknya itu Sutardji memperlihatkan dirinya sebagai pembaharu perpuisian Indonesia. Terutama karena konsepsinya tentang kata yang hendak dibebaskan dari kungkungan pengertian dan dikembalikannya pada fungsi kata seperti dalam mantra. Pada musim panas 1974, Sutardji Calzoum Bachri mengikuti Poetry Reading International di Rotterdam. Kemudian ia mengikuti seminar International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat dari Oktober 1974 sampai April 1975. Sutardji juga memperkenalkan cara baru yang unik dan memikat dalam pembacaan puisi di Indonesia. Sejumlah sajaknya telah diterjemahkan Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan dalam antologi Arjuna in Meditation (Calcutta, India),Writing from the World (Amerika Serikat), Westerly Review (Australia) dan dalam dua antologi berbahasa Belanda: Dichters in Rotterdam(Rotterdamse Kunststichting, 1975) dan Ik wil nog duizend jaar leven, negen moderne Indonesische dichters (1979). Pada tahun 1979, Sutardji dianugerah hadiah South East Asia Writer Awards atas prestasinya dalam sastra di Bangkok, Thailand.
Salah satu karyanya adalah buku kumpulan puis berjudul O Amuk Kapak yang merupakan penerbitan yang lengkap sajak-sajak Calzoum Bachri dari periode penulisan 1966 sampai 1979. Sajak-sajak yang terdapat dalam buku ini dikumpulkan dalam tiga kelompok, yakni O, Amuk, dan Kapak. Sesuai yang dikatakan, bahwa Sutardji memperkenalkan cara baru dan unik dalam penulisan dan pembacaan puisi di Indonesia. Oleh karena hal itu, Puisi-puisi yang terdapat dalam buku kumpulan puisi ini cukup unik karena hampir semua puisi yang terdapat didalamnya tidak sesuai dengan tata aturan puisi yang selama ini menjadi pedoman para penulis dan diketahui oleh khalayak umum. Hal tersebut tidak berarti salah. Sebab karya sastra memang merupakan hasil cerminan sebuah perasaan dari sang penulisnya. Jadi, terserah sang penulisnya mau mengemas bagaimana sehingga akhirnya menjadi sebuah karya.
Salah satu contoh puisi karya Sutardji Calzoem Bachri yang cukup unik dan patut ditelaah secara mendalam adalah berikut ini,
L U K A
ha ha
1976
Hanya dengan berisi dua suku kata dan empat huruf, Sutardji mengemas puisinya yang berjudul luka. Singkat, padat, dan tidak jelas. Namun, dengan ketidak jelasan yang dimunculkan Sutardji dalam puisinya ini justru membuat orang semakin penasaran untuk mengetahui apa sebenarnya makna dibalik puisi tersebut. Orang semakin tertarik untuk lebih menganalisis dan mempelajarinya lebih mendalam. Untuk memahami makna, pertama-tama kita harus memahami struktur terlebih dahulu. Karena struktur adalah lapis yang dapat diamati secara visual. Terdapat enam sub-analisis apabila kita ingin memahami puisi dari segi strukturnya. Diantaranya yakni,
1) Bunyi dan Irama dalam Puisi
Dalam puisi, irama tercapai dengan variasi secara sistematik pada arus bunyi, sebagai akibat dari pergantian tekanan yang panjang-pendek, kuat-lemah, dan tinggi-rendah. Dalam puisi, irama tercapai dengan pengulangan secara konsisten dan bervariasi dari berbagai bunyi yang sama. Oleh karena itu, kita dapat menyimpulkan betapa erat hubungan irama dengan bunyi tersebut.
Perhatikan puisi di atas. Puisi dengan judul Luka karya Sutardji tersebut dapat dibilang cukup konsisten. Perulangan bunyi “ha” tersebut sengaja dipilih oleh Sutardji untuk membantu terciptanya efek ritme dan irama. Dalam puisi terdapat berbagai jenis rima. Dan puisi judul Luka karya Sutardji tersebut memang sangat cocok dikategorikan menurut bunyinya yakni termasuk jeni rima mutlak. Hal tersebut dikarenakan memang seluruh bunyi kata-kata itu sama. “ha ha”.
2) Diksi atau Pemilihan Kata dalam Puisi
Diksi merupakan pemilihan kata yang tepat, padat, dan kaya akan nuansa makna serta suasana sehingga mampu mengembangkan dan meningkatkan daya imajinasi pembaca. Pada tahap inilah sering terjadi pergulatan dalam diri seorang penyair. Bagaimana dia memilih kata-kata yang tepat, baik yang mengandung makna denotative dan konotatif. Karya sastra jenis puisi memang lebih menekankan pada isi makna dari puisi tersebut, bukan berfokus pada kulit luar. Dengan begitu, menulis puisi itu bukan menulis kata-kata, melainkan menulis esensi dari kata-kata tersebut.
Perhatikan puisi di atas. Sutardji memang sangat tepat. Lebih berfokus pada esensi daripada kulit luarnya atau diksi. Namun, dengan pemilihan diksi seperti itu mengakibatkan para pembaca dan penikmat puisi Indonesia menjadi bingung. Hanya dengan berisi dua suku kata dan empat huruf itu tak dapat mewakili esensi makna dari puisi yang ia tulis. Ditambah dengan pemilihan judul yang tak sesuai dengan isi. Luka merupakan simbol dari kesedihan, sedangkan “ha ha” merupakan simbol tawa yang melambangkan sebuah sukacita. Pemilihan diksi antara judul dan isi, sangat kontradiktif.
3) Baris dalam Puisi
Ciri visual puisi yang membedakan dengan genre sastra lain adalah baris. Jika prosa secara visual dibentuk dengan paragraf-paragraf, maka puisi dibentuk dengan baris-baris dan kadangkala baris-baris tersebut disatukan menjadi satuan yang lebih besar, yakni biasa disebut bait. Di samping sebagai ciri visual, baris dalam puisi juga berfungsi sebagai upaya untuk menciptakan efek artistik untuk membangkitkan makna.
Namun, yang terjadi pada puisi di atas yang berjudul Luka tidak demikian adanya. Tak ada bait bahkan baris dalam puisi yang ditulis oleh Sutardji. Hal tersebut dikarenakan kurangnya diksi yang digunakan oleh Sutardji dalam mengemas puisinya yang berjudul Luka. Sehingga mengakibatkan para pembaca tidak mendapat gambaran yang jelas mengenai makna yang terkandung dalam puisi tersebut.
4) Enjambemen dalam Puisi
Enjambemen merupakan pemenggalan secara cermat dan hubungan antarbaris. Terkadang pemenggalan-pemenggalan tersebut mengakibatkan sebuah puisi tidak sesuai dengan kaidah tata bahasa yang baik dan benar. Namun, dengan melakukan berbagai pemenggalan tersebut penyair sebenarnya ingin menekankan makna yang terdapat dalam frase-frase yang ia tonjolkan. Apabila penulisan dilakukan sesuai dengan kaidah bahasa, justru mengakibatkan frase-frase tersebut tenggelam pada kalimat-kalimat lain.
Setelah melihat beberapa contoh puisi yang mengandung enjambemen, ternyata puisi karya Sutardji yang berjudul Luka tersebut tidak mengandung enjambemen. Tidak dapat dilakukan pemenggalan dalam bentuk apapun pada puisi Luka. Penyebabnya hanya satu, yakni terjadi krisis diksi dalam puisi Luka karya Sutardji. Dengan tidak adanya enjambemen tersebut mengakibatkan pembaca semakin susah dalam menentukan makna dari puisi tersebut.
5) Bait dalam Puisi
Satuan yang lebih besar dari baris adalah bait. Tetapi sesungguhnya yang terpenting dalam bait adalah kesatuan makna, bukan kesatuan baris. Sebab bila kita mengatakan bahwa bait itu merupakan kesatuan dari baris, maka konsekuensinya adalah bahwa satu bait harus terdiri dari berbagai baris. Sedangkan seringkali kita menemukan puisi yang dalam satu bait terdiri satu baris saja.
Puisi karya Sutardji di atas hanya terdiri dari satu bait saja. Dan satu baitnya hanya terdiri dari satu baris saja. Peranan bait dalam puisi hamper sama dengan fungsi paragraph dalam prosa, yakni menentukan ide pokok. Sehingga ide pokok yang terdapat pada bait pertama dalam puisi berbeda dengan ide pokok yang terdapat pada baitbait selanjutnya, namun masih dalam satu makna. Walaupun puisi Luka hanya terdapat satu bait, dan dalam satu bait itu hanya terapat satu baris dengan dua suku kata saja, maka sebuah esensi dari puisi tersebut masih susah ditarik. Terlebih karena isi yang tidak sesuai dengan judul.
6) Tipografi dalam Puisi
Berbagai bentuk dalam puisi, termasuk dalam hal pemakaian huruf besar dan tanda baca, disebut tipografi. Tipografi di samping bertujuan untuk menciptakan keindahan secara visual, juga dimaksudkan sebagai upaya untuk mengintensifkan makna, rasa, dan suasana sebuah puisi.
Coba kita perhatikan puisi Luka karya Sutardji di atas. Tak terdapat tipografi pada puisinya tersebut. Dengan begitu tidak terdapat efek suasana dan pembaca masih belum mampu mengambil kesimpulan makna dari puisi tersebut.
II. Pencarian Makna di Balik Ambiguitas Puisi Luka
Ambiguitas berasal dari bahasa Inggris yaitu ambiguity yang berarti suatu konstruksi yang dapat ditafsirkan lebih dari satu arti. Ambiguitas sering juga disebut ketaksaan (Alwi, 2002:36). Ketaksaan dapat diartikan atau ditafsirkan memiliki lebih dari satu makna akan sebuah konstruksi sintaksis. Tidak dapat dipungkiri keambiguan yang mengakibatkan terjadinya lebih dari satu makna ini dapat terjadi saat pembicaraan lisan ataupun dalam keadaan tertulis. Dan puisi merupakan salah satu contoh terjadinya ambiguitas dalam keadaan tertulis.
Menurut hasil analisis pada struktur, salah satu penyebab terjadinya ambiguitas adalah sebuah karya yang kontradiksi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kontradiksi merupakan suatu keadaan dimana terjadi sebuah pertentangan antara dua hal yang berlawanan atau bertentangan. Dengan adanya makna yang bertentangan tersebut akhirnya pembaca bingung, manakah makna yang sesungguhnya. Pencarian makna di balik keambiguitasan dapat dilakukan dengan menggunakan teori kesadaran intensionalitas milik Husserl yang menyiratkan bahwa keberadaan dan makna selalu saling terikat. Tidak ada objek tanpa subjek, dan tidak ada subyek tanpa objek. Begitupula dalam puisi Luka karya Sutardji. Pasti di balik kata “Luka” dan “ha ha” mengandung makna yang ada kaitannya dengan sebuah objek, walaupun kata “Luka” dan “ha ha” adalah dua hal yang sangat berlawanan.
L U K A
ha ha
1976
Banyak yang menafsirkan bahwa makna dari “ha ha” itu memiliki makna kebahagiaan. Meskipun luka, namun tetap tetap bahagia dan bersyukur atas segala rahmat Tuhan yang diberikan. Adapula yang menyebutkan bahwa makna di balik “ha ha” adalah simbol kesedihan. Dimana isi tersebut hanyalah sebagai fungsi penyamaran makna yang sesungguhnya. terbukti memiliki makna yang bermacam-macam dan bagi pembaca awam pun malah jangan-jangan tidak dapat mengambil kesimpulan perihal maknanya.
Setelah melakukan analisis menggunakan teori kesadaran intensionalitas, peneliti mencoba menghubungkan antara subjek dan objek yang terhubung. Dapat ditinjau melalui tahun penulisan. Puisi ini ditulis oleh Sutardji sekitar tahun 70-an, lebih tepatnya tahun 1976. Apa yang terjadi sekitar tahun tersebut. Ternyata berbagai sumber di internet mengatakan bahwa pada tahun-tahun tersebut di Indonesia sedang terjadi perang kelauarga, peran melawan bangsa dan sesamanya sendiri karena agama. Perlawanan antara mereka yang memeluk Kristen dan Muslim. Rumah-rumah penduduk dan tempat-tempat ibadah dibakar oleh massa. Banyak korban berjatuhan akibat tembakan dari teman-temannya sendiri. Tak sedikit pula yang terluka berat. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa puisi Luka ini bermakna kesedihan akibat perang agama yang terjadi pada tahun 1970-an. Makna kesedihan itu disamarkan oleh Sapardi melalui pemilihan diksi yang memang sengaja kontra dengan judulnya agar makna itu Nampak tersirat dibalik pemilihan diksi yang singkat. Selain itu disimpulkan bahwa ternyata buku kumpulan puisi O Amuk Kapak ini seluruh sajaknya bertemakan tentang keTuhanan, jadi sudah dipastikan bahwa puisi berjudul Luka inipun juga bertemakan tentang ke-agama-an dan Ketuhanan.
Kelemahan puisi ini memang terdapat pada diksinya. Dengan diksi yang hanya berupa satu baris dan dua suku kata tersebut, pembaca tidak dapat menarik maknanya, kecuali apabila puisi ini dipentaskan. Terbukti. Makna dari puisi Luka ini sangat mendalam ketika Sutardji mementaskannya dengan berbagai properti yang mendukung. Puisi ini tidak bisa dituliskan dengan “ha ha” saja. Puisi ini bisa dinikmati karena adanya bentuk visualisasi berupa daging dan darah.
KESIMPULAN
Dari hasil analisis kritik terhadap puisi Sutardji yang berjudul Luka, dapat disimpulkan bahwa diksi yang digunakan sangat kurang, dapat dikatakan Sutardji mengalami masalah krisis diksi ketika melakukan penulisan puisi ini. Selain itu judul dengan isi yang sangat kontradiktif sehingga mengakibatkan kesan ambiguitas yang tinggi terhadap puisinya. Untuk mengetahui makna sesungguhnya dari puisi tersebut maka diperlukannya analisis dengan meggunakan teori kesadaran intensionalitas milik Husserl dan dilakukannya pementasan secara visual terhadap puisi tersebut, sebab puisi Luka tidak bisa dimengerti dan dinikmati maknanya hanya dengan dibacakan saja.
DAFTAR PUSTAKA
Apter, T. E..1982. Fantasy Literature. London : The Macmillan Press LTD
Bachri, Sutardji Calzoem. 1981. O Amuk Kapak. Jakarta : Sinar Harapan.
Eagleton, Terry. 2006. Teori Sastra : Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta : Jalasutra.
Harjanti, Fransisca Dwi. 2006. Analisis Tindak Tutur Presiden Susilo Bambang Yudhoyono :
Kajian Pragmastilistika. Surabaya : Unesa.
Hoed, Benny H..2008. Semiotik & Dinamika Sosial Budaya. Depok : Komunitas Bambu.
http://www.nunusaku.com/03_publications/articles/tuhanmu.html
Kartika, Dharsono Sony. 2007. Estetika. Bandung : Rekayasa Sains.
Tjahjono, Liberatus Tengsoe. 1988. Sastra Indonesia : Pengantar Teori dan Apresiasi. Flores :
Nusa Indah.
